Headlines News :
Home » » IPS DAN PENDIDIKAN KARAKTER

IPS DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Written By mikailahaninda.blogspot.com on Kamis, 26 Maret 2015 | 09.22

Abstrak

Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan.
Ilmu Pengetahuan Sosial adalah studi integrasi dari ilmu-ilmu sosial dalam kemanusiaan untuk meningkatkan kemampuan warganya. Melalui pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, siswa diajarkan untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik dan penuh kedamaian. Ilmu Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan transisi kehidupan menuju pada kehidupan yang lebih dewasa dalam upaya membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan prinsip dan semangat nasional. Dengan mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, akan terlihat bahwa pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Hal ini terlihat pada rumusan tujuannya, bahwa pendidikan karakter atau pendidikan nilai juga bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik.
Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang besar.
Kata kunci : Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Karakter

1.      Pendahuluan
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif  karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.  Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi. Pembentukan karakter sebagai upaya meningkatkan perilaku siswa dilaksanakan secara berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, dan acting (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 31). Tetapi yang terjadi sekarang adalah pola pendidikan yang masih berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan kurang memperhatikan pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pada prakteknya lebih menekankan pada aspek kognitif tingkat rendah (hanya sekedar tahu saja). Selain itu, sistem pendidikan yang terfokus pada aspek kognitif bersifat abstrak, serta diikuti dengan proses belajar siswa yang pasif, kaku, dan kurang menyenangkan.

2.      Makna Pembelajaran IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak dapat dilepaskan dari sejarah munculnya mata pelajaran Social Studies di Amerika Serikat tahun 1962-an. Berangkat dari pemahaman dan kajian serta bagaimana peran mata pelajaran Social Studies itu, di Indonesia kemudian diperkenalkan dan dikembangkanmata pelajaran IPS. Secara historis, istilah IPS ini muncul di Indonesia sejak diberlakukannya Kurikulum 1975 sebagai pembaharuan Kurikulum 1968 di sekolah. Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran di sekolah yang didesain atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai cabang Ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, pendidikan. Oleh karena itu, IPS dapat dikatakan sebagai studi mengenai perpaduan antara ilmu-ilmu dalam rumpun Ilmu-ilmu sosial dan juga humaniora untuk melahirkan pelakupelaku sosial yang dapat berpartisipasi  dalam memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan. Bahan kajiannya menyangkut peristiwa, seperangkat fakta, konsep dan generalisasi yang berkait dengan isu-isu aktual, gejala dan masalah-masalah atau realitas social serta potensi daerah.
Selanjutnya dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa IPS merupakan bahan kajian yang wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang antara lain mencakup ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat (penjelasan pasal 37).
Sementara itu, kalau mengacu pada kajian Social Studies, National Council for Social Studies (NCSS) dijelaskan sebagai berikut.
"Social studies are the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and the natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world “ (1994: 3).

Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa:
1.      Ilmu Pengetahuan Sosial adalah studi integrasi dari ilmu-ilmu sosial dalam kemanusiaan untuk meningkatkan kemampuan warganya.
2.      Dalam lingkup program sekolah, Ilmu Pengetahuan Sosial memberikan studi yang terkoordinasi dan sistematis yang menekankan pada disiplin-sisiplin ilmu antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi maupun isi terapan dari humaniora, matematika dan ilmu murni.
        Melalui pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, siswa diajarkan untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik dan penuh kedamaian. Ilmu Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan transisi kehidupan menuju pada kehidupan yang lebih dewasa dalam upaya membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan prinsip dan semangat nasional. Dengan demikian para siswa dalam pembelajaran IPS terlatih untuk menyelesaikan persoalan sosial dengan pendekatan secara holistik dan terpadu dari berbagai sudut pandang.
        Ellis (1997: 6) menjelaskan hakikat pembelajaran IPS sebagai berikut “social studies is the area of the curriculum dedicated to the study of human beings, it lends it self quite naturally to the care and nurturing of the individual child”. Maksudnya bahwa lingkup wilayah IPS dalam kurikulum diabadikan pada pembelajaran umat manusia secara alami menjaga dan mengembangkan karakter dan pribadi anak. Jadi, Pembelajaran IPS merupakan pembelajaran yang menyangkut segala aspek hubungan dalam kehidupan manusia. Numan Sumantri (2001: 95) menjelaskan bahwa Pendidikan IPS bersumber dari beberapa disiplin ilmu, humaniora, disiplin ilmu pendidikan, kegiatan dasar manusia dalam masyarakat dan tujuan pendidikan nasional yang semuanya harus dipikirkan dan dikembangkan secara integrasi.
        Menurut pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang diturunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat.
        Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang diberikan mulai dari pendidikan dasar, Ellis (1997: 6) menjelaskan tujuan pembelajaran IPS  adalah:
“Social studies is designed to help children explain their world. By organization he basically meant the ability to understand and classify things with respect to how they work. Adaptation refers to the process of accommodating one self to one’s environment. A child who enters school has already adapted considerably to the environment through speech, dress, rules at home, and so forth but school is designed to expand such adaptation greatly through formal learning processes, social, emotional, and physical”.

        Pernyataan di atas menjelaskan bahwa tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial adalah untuk mengembangkan potensi siswa agar mampu beradaptasi, peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.
      Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2.      Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3.      Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4.      Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5.      Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.
Sejalan dengan itu, Barth (1990: 41) menjelaskan bahwa:
Proposed that one way to integrated social studies in a scope and sequence was to apply the four skill objective: (1) gaining knowledge, (2) Processing information, (3) clarifying values and (4) engaging in social participation, in every social studies classroom.

      Sesuai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPS yaitu memperoleh pengetahuan, siswa belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya, kemudian kemampuan menggunakan dan mengamalkan pengatahuan dan ide-ide melalui ketrampilan berfikir. Tujuan yang lain adalah membentuk sikap yang diperlukan untuk tingkah laku berfikir (intellectual behavior) dan tingkah laku sosial (social behavior). Tujuan-tujuan tersebut bermuara pada tujuan utama IPS yaitu untuk melatih siswa untuk bertanggung jawab sebagai warga Negara yang baik serta mempersiapkan generasi muda untuk menjadi seorang humanis, rasional, berpartisipasi dalam kehidupan dunia dan menjadi meningkat kesadaran untuk saling membutuhkan dalam hidupnya.

3.            Makna Pendidikan Karakter
Dengan mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, akan terlihat bahwa pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Hal ini terlihat pada rumusan tujuannya, bahwa pendidikan karakter atau pendidikan nilai juga bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik. Bahkan, secara tegas Gross menyatakan, “Values Education as social studies “to prepare students to bewell-fungtioning citizens in democratic society” (Darmadi, 2007:8). istilah pendidikan nilai ini sering disamakan dengan pendidikan religius, pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan moral atau pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau pendidikan budi pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemanusiaan.
Ryan berpendapat bahwa “good character is about knowing the good, loving the good and doing the good”. Artinya bahwa karakter yang baik adalah tentang suatu pengetahuan yang baik, kasih sayang, cinta kasih yang baik dan melakukan atau bertindak yang baik. Pendapat tersebut diperkuat oleh Lickona (1992: 51) yang menjalaskan tentang pengertian dan menawarkan satu cara memaknai karakter dalam pembelajaran, sebagai berikut:
Character consist of operative values, values in action. Character conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good and doing the good-habits of the mind, habits of the heart and habits of action.
Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri dari nilai-nilai tindakan. Karakter yang dipahami mempunyai tiga komponen saling berhubungan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan kebiasaan yang baik pula dari pikiran, kebiasaan dan tindakan.
Tadkiratun Musfiroh (2008: 27) menjelaskan bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills), meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik. Maksudnya bahwa pendidikan karakter adalah usaha yang sengaja dilakukan untuk membantu masyarakat, memahami perilaku orang lain, peduli dan bertindak serta memiliki ketrampilan atas nilai-nilai etika.
 Tujuan pendidikan watak atau karakter menurut Darmiyati Zuchdi (2008: 39) untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini digambarkan sebagai perilaku moral. Proses pembelajaran karakter lebih diarahkan pada aspek pengetahuan, ketrampilan dan perilaku, seperti yang diungkapkan Barth (1990: 254) terdapat tiga aspek dalam pembelajaran yang harus dicapai yaitu; “a) knowledge, which is a body of fact and principles; b) skill, which is acquiring an ability through experience or training; c) attitude, which is one’s opinion, feeling or mental set as demonstrated by one’s action”.    Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa tiga aspek dalam pembelajaran meliputi a) pengetahuan, adalah bentuk dari prinsip dan fakta; b) ketrampilan, adalah pemerolehan kemampuan melalui pelatihan atau pengalaman; c) sikap, adalah suatu pendapat, perasaan atau mental seseorang yang ditunjukkan oleh tindakan.
Lickona (1992: 53) mendefinisikan tiga komponen dalam membentuk karakter yang baik, yaitu dapat dijelaskan bahwa masing-masing komponen mempunyai aspek yang saling berhubungan satu sama lain. Aspek dari tiga komponen karakter adalah: Moral knowing yaitu 1) kesadaran moral (moral awarenees), 2) mengetahui nilai moral (knowing moral values), 3) perspective taking, 4) penalaran moral (moral reasoning) 5) membuat keputusan (decision making) 6) pengetahuan diri (self knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif siswa. Sedangkan moral feeling, enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yaitu: 1) nurani (conscience), 2) penghargaan diri (self esteem), 3) empati (empathy), 4) cinta kebaikan, kasih sayang (loving the good), 5) kontrol diri (self control) dan 6) kerendahan hati (humility). Moral actions merupakan perbuatan atau tindakan moral dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang untuk berbuat (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan karakter melalui tahap pengetahuan (knowing), kemudian berbuat (acting), menuju kebiasaan (habit) dimaksudkan bahwa karakter tidak sebatas pada pengetahuan saja, akan tetapi perlu ada perlakuan dan kebiasaan untuk berbuat sehingga membentuk karakter yang baik. Karena pendidikan karakter merupakan proses untuk membentuk, menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan kepribadian anak menjadi pribadi yang bijaksana dan bertanggung jawab melalui pembiasaan-pembiasaan pikiran, hati dan tindakan secara berkesinambungan yang hasilnya dapat terlihat dalam tindakan nyata sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Pendidikan karakter yang terintegrasi meliputi dimensi penting yang dapat digambarkan dalam beberapa tindakan, maksudnya pendekatan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran bahwa guru dan siswa bekerja sama dalam proses pembelajaran yang berorintasi pada tindakan yang lebih bermakna.

4.            Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Integrasi berbagai Mata Pelajaran
Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu,  guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. 
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
1.      Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. 
2.      Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Gambar 2 berikut ini memperlihatkan pengembangan nilai-nilai melalui jalur-jalur itu:
Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa melalui berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam Standar Isi (SI), digambarkan sebagai berikut ini.
3.      Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter  bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani  dan kesehatan, seni, dan ketrampilan.
Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. 
Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai itu.
4.      Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan  kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.

5.      PENUTUP
Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang besar.
Penyelenggarakan pendidikan yang lebih menekankan pada penguasaan materi dan bersifat intelektualistik telah mengabaikan aspek moralitas dan pengembangan karakter peserta didik. Pembelajaran IPS memiliki peran penting dalam pembentukan karakter bangsa. Sebab pembelajaran IPS memiliki kesamaan dengan pendidikan nilai atau pendidikan karakter yang masing-masing bertujuan untuk menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang baik, kemudian juga peduli terhadap masalah sosial dan lingkungannya, serta memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Sayangnya, pembelajaran IPS sejak tahun 1975 sampai sekarang ini belum dapat memenuhi maksud dan tujuan yang sesungguhnya. Pembelajaran IPS yang secara konseptual ideal merupakan studi integratif mengenai kehidupan masyarakat, masih menghadapi problem dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Para pendidik IPS merasa kebingungan dan kadang kurang bersemangat karena IPS dipandang oleh masyarakat sebagai mata pelajaran yang tidak penting. Para peserta didikpun menjadi kurang begitu tertarik dengan mata pelajaran IPS. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pembelajaran IPS menjadi tidak optimal, sehingga tujuan pembelajaran IPS yang sesungguhnya sebagai bagian dari proses pembentukan karakter tidak dapat tercapai. Untuk memantapkan peran pembelajaran IPS dalam pembentukan karakter bangsa ini perlu juga didukung dengan beberapa hal, sebagai berikut.
1.      Perlu adanya keteladanan.
2.      Dikembangkan model-model pembelajaran yang aktif – partisipatif, kreatif- inovatif dengan berbagai program pembiasaan.
3.      Penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif-edukatif, misalnya dipajang berbagai ketentuan, prosedur, slogan-slogan yang mampu memberikan motivasi dan semangat dalam hidup dan kehidupan yang lebih berkarakter.
4.      Perlu penataan berita dan penyiaran di berbagai media massa, baik di media cetak maupun elektronik.
5.      Perlu dilakukan kerja sama dengan orang tua/wali dan masyarakat sekitar.



DAFTAR PUSTAKA
Barth, James. L. (1990). Methods of instruction in social studies education. New York: University Press of America.

Darmiyati Zuhdi. (2008). Humanisasi pendidikan: menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ellis. A.K. (1997). Teaching and learning elementary social studies. Boston: Allyn & bacon A Viacom Company.

Hamid Darmadi. 2007. Konsep Dasar Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta.

Lickona, T. (1992). Educating for character, how our schools can teach respect. respect and responsibility. New York: Bantam Books.

Numan Sumantri. (2001). Menggagas pembelajaran pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

NCSS. 1994. Curriculum Standars for the Social Studies. Washington D.C. Diambil pada tanggal 10 Desember 2010, dari http://en.wikipedia.org/wiki/National_Council_for_the_Social_Studies

Tadkiratun Musfiroh. (2008). Character building. Yogyakarta: Tiara Wacana.

www.bu.edu/education/caec/files/6E.htm
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Berbagi | AULIA | Mikaila
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DARIKU UNTUKMU - All Rights Reserved